MENATA ULANG SISTEM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
Jejak Langkah dan Pemikiran Hukum
PROF. H.A.S. NATABAYA, S.H., LL.M. (Hakim Konstitusi Periode 2003-2008)
Penerbit: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008
“CACAT BAWAAN” HASIL PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 (TAHUN 1999-2002), (Hal. 189-193)
I. Pendahuluan
Setelah jatuhnya Pemerintahan Orba di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, dimulailah era baru yang dinamakan Era Reformasi (bukan revolusi). Setelah kejatuhan Presiden Soeharto, dan tongkat kepemimpinan Republik ini dilanjutkan oleh Presiden BJ Habibie, maka pada bulan Oktober 1998 diadakan Sidang Istimewa (SI) MPR yang telah menghasilkan beberapa TAP MPR. Setelah itu diadakan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1999 yang konon cukup demokratis setelah Pemilu 1955. Setelah terbentuknya MPR hasil Pemilu tahun 1999, pada Sidang Umum (SIUM) tahun itu juga telah ditetapkan berbagai TAP MPR yang berisi amanat reformasi di berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Agenda reformasi yang dicanangkan pada garis besarnya mencakup: 1. mengamandemen UUD 1945 yang dianggap terlalu berat kepada eksekutif (executive heavy); 2. penghapusan dwi fungsi ABRI; 3. otonomni daerah yang luas; 4. kebebasan pers; dan 5. perlindungan dan penegakan hak-hak asasi manusia (HAM).
Amandemen atau Perubahan terhadap UUD 1945 sebagai agenda utama dilakukan pada tahun 1999-2002. Perubahan tersebut dilakukan secara bertahap seperti sinetron melalui episode demi episode, sehingga berkesan perubahan tersebut hanya demi kepentingan politik sesaat yang tidak mempunyai konsep besar (grand design) mau ke mana negara dan bangsa ini dibawa. Bentuk negara dan sistem pemerintahan menjadi tidak jelas, demikian pula sistem otonomi daerah yang bernuansa federal, sehingga menimbulkan pertentangan yang berkepanjangan baik vertical maupun horizontal. Kecarut-marutan hasil amandemen UUD 1945 tersebut menimbulkan pelaksanaan pemerintahan di pusat maupun di daerah terjadi tidak efektif, karena masing-masing lembaga mau menang dan benar sendiri.
II. “Cacat Bawaan”
Hasil amandemen atau perubahan UUD 1945 yang tidak mempunyai konsep besar (grand design) dan tidak didasarkan pada suatu sistem yang konprehensif dan jelas, berakibat menimbulkan “cacat bawaan” pada hasil perubahan tersebut di bawah ini:
1. Dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 ditentukan bahwa Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk republik. Sebagai cerminan negara kesatuan yang berbentuk republik, tentunya sistem pemerintahannya adalah sistem Presidensiil, yang dicerminkan pada Pasal 6A UUD 1945, di mana Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat melalui Pemilu dan menjalankan pemerintahannya selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan. Hukum dasar ini mencerminkan bahwa kepala pemerintahan dipilih langsung oleh rakyat sebagai cerminan kedaulatan rakyat langsung, tidak dipilih atau diangkat oleh parlemen (MPR atau DPR) yang mencerminkan sistem kedaulatan rakyat tidak langsung atau parlementer. Masa jabatan yang lima tahun ini tidak dapat diganggu gugat (Presiden tidak dapat dijatuhkan), kecuali kalau Presiden dan/atau Wakil Presiden melanggar hukum atau melakukan perbuatan tercela atau tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7A UUD 1945 dapat diberhentikan (impeach). Pemberhentian inipun ditempuh melalui proses hukum dahulu di Mahkamah Konstitusi (MK) baru proses politik di MPR. Dalam kaitannya dengan Presiden sesuai dengan sistem presidensiil murni yaitu Presiden dipilih langsung oleh rakyat, MPR hanya “melantik” Preseden terpilih melalui Pemilu. Namun kalau dikaitkan dengan Pasal 8 UUD 1945 dalam hal Presiden berhalangan tetap, ada ketidak-harmonisan atau kontradiktif antara tugas, fungsi serta wewenang MPR tersebut. Kontradiksi terjadi karena di satu sisi MPR dalam kaitannya dengan Presiden dan/atau Wakil Presiden pada prinsipnya hanya sebatas berwenang “melantik” Presiden terpilih hasil Pemilu. Namun dalam Pasal 8 UUD 1945, MPR diberi wewenang lagi yang sama dengan MPR sebelum UUD 1945 diamandemen yaitu diberi wewenang “memilih” dan “mengangkat” Presiden dan/atau Wakil Presiden, tanpa harus diadakan Pemilu terlebih dahulu, di mana kewenangan MPR tidak diatur dalam BAB tentang MPR.
2. Pasal 1 (2) UUD 1945 berbunyi Kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilakukan menurut UUD. Norma dasar semacam ini membuat atau menimbulkan berbagai penapsiran yang dapat mengakibatkan ketidak pastian hukum. Karena dari sekian banyak lembaga negara di dalam UUD 1945 hasil amendemen menjadi pertanyaan kita bersama mana yang menjadi pelaksana kedaulatan rakyat. Apakah semua lembaga negara yang disebutkan secara eplisit di UUD ataukah hanya anggotanya/pejabatnya dipilih langsung oleh rakyat dan bagai mana kedudukan MPR yang anggotanya adalah lembaga negara (DPRdan DPD). Bila dibandingkan dengan KRIS 1949,UUDS 1950 dan UUD 1945 (asli) jelas siapa pelaku atau pelaksana kedaulatan rakyat. Ketidak-jelasan ini merupakan cacat bawaan yang dapat menimbulkan kekacauan dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat dan demokrasi kerakyatan.
3. Dalam proses pembentukan UU, sistim presidensil ini juga memjadi tidak jelas. Kalau hasil perubahan UUD’45, benar-benar sistem presidensiil murni, seharusnya pembentuk UU murni ada ditangan DPR tanpa harus melibatkan Presiden secara langsung. Presiden hanya mempunyai hak veto teradap RUU (UU) yang dibentuk oleh DPR. Pelibatan Presiden sebagai pembentuk UU serta (mede wetgever) di samping DPR sebagai pembentuk UU yang utama (primaire wetgever). Lihat pasal 5 (1) jo pasal 20 UUD 1945 mencerminkan sistem presidensiil ”setengah hati” yang merupakan ”cacat bawaan” hasil perubahan UUD 1945. Belum lagi dalam pasal 22D UUD 1945 di mana Dewan Perwakilan Daerah (DPD) diberikan kewenangan juga untuk mengajukan (baca membuat) RUU yang kemudian disampaikan kepada DPR. Dapat saja orang mengatakan bahwa DPD adalah sebagai pembentuk UU serta juga namun sangat minim keterlibatannya, sehingga dapat disebut pembentuk UU serta yang mini (kleine medewetgever). Karena DPD hanya berwenang mengajukan RUU kepada DPR itupun substansinya dibatasi hanya yang berkaitan dengan otonomi daerah. Dalam pembahasan RUU tersebut dengan Presiden, DPD tidak dilibatkan.
4. Apabila salah satu tujuan amendemen UUD1945 adalah mengarah pada sistem Presidensiil murni juga masih dipertanyakan. Karena dalam pelaksanaan pemilu legislatif maupun pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta pendirian partai politik (Parpol) sebagai pelaksanaan dari UUD 1945 tentunya tidak akan menganut sistem multi partai. Dalam pelaksanaan UUD 1945 hasil amendemen selama kurang lebih 10 tahun ternyata telah menggunakan sistem multi partai yang merepotkan pihak eksekutif maupun legislatif-terlepas dari sistem multi partai ini dikatakan sistem yang sangat demokratis bahkan pihak yudikatif-pun dibuat repot kalau terjadi silang sengketa antar Parpol sebelum atau selama pemilu.
5. Dalam bentuk negara kesatuan Pemerintahan Daerah seharusnya mendapatkan kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi) melalui pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat. Melalui desemtralisasi diharapkan pemerintah daerah dapat meningkatkan kesejahtraan warga masyarakatnya. Namun dalam praktik, karena dipengaruhi oleh UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang bernuansa federal, hasil perubahan Pasal 18 UUD 1945 menjadi tidak lagi mencerminkan negara kesatuan, karena dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 dikatakan: Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh UU ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Rumusan semacam ini mencerminkan bentuk negara Federal, bukan bentuk negara kesatuan. Karena kalau negara kesatuan kewenangan pemerintah pusat ditentukan lebih dahulu baru kemudian pemerintah pusat melimpahkan sebagai kewenangan kepada pemerintah daerah sebagai bentuk desentralisasi atau otonomi daerah. Rumusan Pasal 18 baru ini dipengaruhi oleh rumusan UU 22/1999 yang bernuansa fedral yang lahir dahulu dari pada amendemen kedua (2000)
6. Dalam negara kesatuan tidak dikenal yang namanya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) atau senat. Keberadaan DPD menurut risalah pembahasan Perubahan UUD 1945, merupakan pengganti utusan daerah namun dilembagakan dan kemudian anggotanya dipilih langsung melalui Pemilu. Keberadaan DPD dalam UUD 1945 akan semakin menjadi kacau ketika DPD sekarang ini meminta diadakan amendemen kembali terdap UUD 1945 dan DPD disamakan kedudukan dan kewenanganya dengan DPR baik dalam bidang legislasi, pengawasan maupun penganggaran.
7. Dalam UUD yang menganut sistem pemerintahan Presidensil tidak akan ditentukan hak-hak lembaga/anggota DPR, seperti hak angket , hak interpelasi dan hak menyatakan pendapat. Hak-hak legeslatif yang dimuat dalam UUD 1945 hasil amendemen merupakan cerminan dari sistem parlementer.
8. Sebagaimana ketahui pada amendemen pertama banyak kewenangan Presiden yang merupakan hak prerogative yang secara universal dan tradisional merupakan hak mutlak Presiden, misalnya mengangkat duta, menerima duta. Dalam amendemen ke-dua UUD 1945 kewenangan Presiden tersebut telah dibatasi karena untuk mengakat dan menerima duta harus memperhatikan pertimbangan DPR demikian pula kalau akan memberikan amesti dan abolisi. Kalau Presiden akan mengangkat Panglima TNI dan Kepala Polri pun harus dengan melibatkan/persetujuan DPR.
9. Dalam Bab X dan XA tentang Hak Asasi Manusia ada beberapa pasal yang merupakan duplikasi atau tumpang tindih sehingga menyulitkan pelaksanaanya pada tataran peraturan perundangan-undangan nasional maupun regional, serta menyulitkan operasionalnya oleh pemerintah di pusat maupun daerah.
10. Dalam Aturan Peralihan UUD 1945 (Pasal II) seharusnya di samping rumusan seperti itu seharusnya ditambahkan satu ayat yang menyatakan bahwa sebelum terbentunya DPD maka anggota Utusan Daerah dan Utusan Golongan melaksanakan tugas,fungsi dan kewenangan DPD.
11. Kekuasaan kehakiman yang dimuat dalam Bab IX yang sebelunya hanya Mahkamah Agung (MA) sebagai pelaku kekuasaan kehakiman sekarang menjadi dua yaitu ditambah Mahkamah Konstitusi (MK). Di samping itu ada pula lembaga negara yang bernama Komisi Yudisial (KY) yang diberi kewenangan merekrut calon anggota hakim agung dan menjaga martabat dan kehormatan hakim. Penempatan KY dalam Bab Kekuasaan Kehakiman menimbulkan kontraversi karena KY bukan pelaku kekuasaan kehakiman namun ada kaitanya. Penempatan KY secara ekplisif di dalam UUD membuat rancu apakah KY merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman atau tidak. Seharusnya pasal 24B UUD 1945 itu hanya menyebutkan bahwa rekrutmen calon hakim agung dan penegakan kohormatan dan keluhuran martabat hakim dilaksanakan oleh sebuah komisi. Selanjutnya dalam ayat berikutnya ditentukan tata cara rekruimen hakim agung, tugas dan fungsi, serta kewenangan lain dari komisi tersebut diatur atau ditentukan lebih lanjut dalam UU. Dengan kontruksi rumusan semacam ini tidak menimbulkan bias, tidak menimbulkan multi tafsir bahwa KY merupakan lembaga negara yang sejajar dengan MA dan MK. Sebagai perbandingan di Afrika Selatan, KY ditempatkan diluar Bab Kehakiman.
12. Mengenai pengawasan prilaku hakim yang merupakan kewenangan KY yang diberikan oleh UUD juga menimbulkan kerancuan karena Pasal 24B UUD 1945 secara sitematikal interprestasi dan original intent hanya berlaku untuk Pasal 24A UUD 1945. Artinya sejak awal reformasi tujuan dari pengawasan ekternal teradap para hakim adalah dalam rangka membenahi kekuasaan kehakiman khususnya di lingkungan MA. Sedangkan di lingkungan MK pada penyusunan Bab IX Kekuasaan Kehakiman tidak disebut-sebut. Artinya ketentuan dalam Pasal 24B khususnya yang berkaitan dengan interprestasi pengawasan hakim hanyalah ditujukan teradap hakim-hakim di lingkungan Mahkamah Agung. Kalau pembentuk UUD bermasud juga pengawasan hakim termasuk hakim MK, maka penempatan substansi pengawasan tersebut tidak diletakan pada Pasal 24B melainkan pada Pasal 24C (tukar tempat dengan ketentuan yang mengatur tentang MK). Dengan penempatan ketentuan tersebut dalam Pasal 24C maka pengawasan hakim tentunya termasuk pengawasan teradap tingkah laku hakim MK tidak hanya hakim di lingkungan MA.
13. Mungenai ketentuan Pasal 24C ayat (1) berkaitan dengan pengujian UU (judicial review), seharusnya dimasukan gugatan konstitusional (constitutional complaint). Dengan membedakan antara judicial review atau constitutional review dengan constitutional complaint tidak menimbulkan silang pendapat atau kontroversi mengenai kewenangan MK dalam pengujian UU tersebut. Selajutnya dalam UU No. 24/2003 tentang MK sebagai pelaksanaan dari Pasal 24C UUD 1945 juga harus diadakan revisi di mana ketentuan Pasal 51 huruf a dihapus, karena menjadi tidak adil dan menjadi pertanyaan sebagian besar masyarakat apakah perseorangan itu bisa membatalkan suatu UU yang mengikat umum (tentunya melalui MK). Di Jerman yang dapat mengajukan judicial review adalah Bundestag dan Bundesrat dan Land, artinya lembaga bukan perorangan. Sedangkan perorangan dapat mengajukan gugatan konstitusional apabila ada kebijakan pemerintahan atau peraturan perundang-undangan yang merugikan hak konstitusional perseorangan tersebut. Putusan MK untuk kasus gugatan konstitusional bersifat individual (interpartes) tidak bersifat umum atau ergaomnes. Oleh karena itu ke depan tentunya perlu dipertimbangkan dalam perubahan UUD 1945 berikutnya agar kewenangan MK pada Pasal 24C ayat (1) ditambah dengan gugatan konstitusional. Di samping itu, ada lagi yang perlu ditampung tetapi tidalk perlu di UUD, tapi cukup di UU tentang MK yaitu constitutional question. Maksudnya kalau ada suatu peraturan perundangan di bawah UU yang diuji MA, kemudian MA ragu-ragu teradap UU yang menjadikan patokan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU tersebut, maka MA menanyakan kepada MK apakah UU itu sudah benar atau tidak secara konstutusional. Di Jerman mengenai judicial review diatur dalam pasal 109-110 UUD-nya. Sedangkan di Korea Selatan constitutional question diatur di UU MK-nya.
III. Penutup
Cacat bawaan hasil amendemen UUD 1945 sebaiknya diperbaiki kemudian UUD 1945 disempurnakan dengan membuat konsep besar (grand design) yang utuh dan komperhensif terlebih dahulu, dengan tujuan yang jelas, sistem dan pemerintahan yang jelas dan harus dibuat oleh suatu komisi Konstitusi yang beranggotaan pakar-pakar hukum dan pakar dibidang lainya agar nantinya dihasilkan UUD yang jelas kearah mana negara ini mau dibawah.
Hasil para pakar ini kemudian diserahkan kepada MPR, karena MPR adalah institusi yang berwenang mengubah, menetapkan atau membuat UUD sebagai wadah wakil rakyat yang berwenang mengambil keputusan politik tertinggi (de hoogste politiekobeslissingen van het volk) yang dituangkan dalam konstitusi sebagai pedoman dan arahan dalam menjalankan pemerintahan Negara.
ooooo000ooooo
bersambung ....................